A BIT OF BACKGROUND
Sewaktu dulu masih kuliah di Melbourne circa 2005 – 2009, salah satu hal yang paling sering aku lakukan adalah nongkrong di toko buku. Waktu itu Alhamdulillah, toko buku Borders masih buka di Australia, dan belum bangkrut, nah nggak lama setelah aku pulang ke Indonesia tahun 2011, baru deh bangkrut. Aku pulang ke Indonesia awal tahun 2011, dan Borders mengumumkan tutup semua tokonya Juni 2011. Mungkin karena customernya yang paling rajin dateng dan boros beli buku udah balik ke kampungnya (hehehe).
Anyway, dalam satu malam di antara ratusan malam yang aku habiskan di Borders, aku ketemu buku-buku di rak personal development, yang ditulis oleh Osho, yang langsung aku lahap dengan laparnya. Berhubung masih di awal usia 20-an, sehingga masih dalam tahap pencarian ideologi dan kepercayaan, ide-ide Osho yang revolusioner sangat menarik buat aku. Dia bisa banget menulis suatu konsep yang baru dan liberal dan membuatnya sangat masuk akal untuk hati dan pikiran manusia.
Salah satu hal paling dalam yang pernah aku baca misalnya, the idea that you cannot own anyone because they are not a property. Terus terang aku sangat terkesan banget dengan hal ini sampai sekarang dan masih menjadi panutan hidup aku dalam berhubungan dengan manusia. Waktu itu berhubung banyak masalah percintaan di masa muda, plus mindset yang masih takut banget dengan komitmen dan hubungan emosional, maka ide-ide seperti itu terasa “comforting” banget. Namun, bukan cuma itu saja yang Osho bicarakan. Mulai dari bagaimana caranya supaya stay joyful, melepaskan emosi, dan menyikapi sebuah kejadian dalam hidup kita, he became a big part of my literature education at that time. Berkat Osho, aku jadi punya pandangan filosofis tentang banyak hal dalam hidup yang membuat hidup aku jadi terasa lebih mudah dijalani. Pokoknya di mata aku ketika itu, Osho cadas banget deh. Sampai suatu ketika aku baca buku ke 7 atau ke 8 gitu dan mulai sadar ada banyak inkonsistensi dari satu buku dengan buku yang lain. Banyak ide-idenya yang nggak bisa aku reconcile dengan baik karena memang ada beberapa ide yang nggak sinkron. Yes, it took me like 7 or 8 books to start questioning his thoughts, but I was like, that’s okay, you need to take whatever time you need to take to be sure of something. (And I still live by that principle.) Alhasil aku mulai berpindah ke lain hati, yaitu ikutan pesantren kilat yang diadain oleh klub mahasiswa Islam Indonesia di Melbourne dan belajar lagi tentang Islam, the religion I was born with. Hahhaha.
Fast forward 7 years from that time. Tahun 2018 ini aku mulai banyak lihat online kalau ada dokumenter di Netflix yang judulnya Wild Wild Country tentang sebuah “sex cult” yang katanya reviewnya bagus. Basically all my favourite online media outlet ngomongin. Karena aku termasuk fans berat Netflix dan penasaran dengan dokumenter yang digadang-gadang sebagai “the awesome new documentary from Netflix Original which everyone raved about” akupun cari tahu lebih banyak. Dan kebayang dong betapa kagetnya aku bahwa ternyata dokumenter itu tentang “guru” kesayangan aku di masa muda, yaitu OSHO! (Tapi di film ini digunakan nama Bhagwan Shree Rajneesh, nama asli beliau, probably supaya fans berat OSHO yang banyak beli bukunya nggak langsung aware). There is nothing that says “Sex Cult” in his books, so I was like so surprised. But my first thought was like, “DAMN! Why didn’t I found out more about the person whose books I let influenced my mind?” My naivete is indeed, legendary among friends and family.
Setelah punya waktu free time, akupun menghabiskan dalam dua atau tiga hari seluruh enam episode Wild Wild Country. Buat aku, a confirmed movie freak, setiap kali nonton film yang bagus dan menarik buat aku adalah perjalanan mental yang membahagiakan dan stimulating banget, dan Wild Wild Country is no exception!
WHAT IS THE GIST OF THE STORY?
Osho, atau yang disebutkan sebagai Bhagwan Shree Rajneesh di film ini, mulai mengajar semenjak muda di ashramnya di India, yaitu sekitar tahun 1970. Dari kecil, ia suka membaca banyak sekali buku dari berbagai filsuf dan pemikir dunia. Insight-insight dari berbagai pemikiran ini akhirnya ia tambahkan interpretasi originalnya dan ia bentuk menjadi satu filosofi baru.
Nah, ia mengajarkan bahwa harus ada “new type of man” di dunia ini, yang bukan Buddha, bukan Hindu, bukan Muslim, tapi a new man yang punya consciousness yang beda dan tidak terkungkung dengan dogma masyarakat atau agama tertentu.
Ia mengajarkan sesi “dynamic meditation” yang terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah dimana semua orang harus bernafas dengan cepat dan keras. Tahap kedua adalah dimana semua orang boleh mengekspresikan semua perasaan atau emosinya yang terpendam. Misalnya dengan memukul-mukul, berteriak, tertawa, menangis, dan sebagainya. Tahap ketiga adalah dimana semua orang berbaring atau duduk dengan tenang dan diam, menenangkan diri setelah semua emosi yang terpendam dikeluarkan. Nah, metode meditasi seperti ini tentunya merupakan satu hal yang baru banget di masa itu. Dan pemikirannya mendapatkan sambutan yang sangat hangat dari warga India dan bahkan warga asing dari seluruh dunia, misalnya Australia dan Amerika Serikat.
Osho tidak puas hanya mengajar dari ashram. Ia akhirnya ingin mewujudkan sebuah “commune” yaitu sebuah kota kecil yang self-sufficient dan dimana semua penghuninya menanamkan nilai-nilai yang diajarkannya. Namun, sekretaris dan head of staffnya saat itu, Laxmi, tidak bisa melakukannya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengganti Laxmi dengan Ma Anand Sheela, sekretaris dan head of staff yang akhirnya bisa mewujudkan eksperimennya untuk membuat suatu commune.
Wild Wild Country menceritakan tentang bagaimana perjuangan Osho dan Ma Anand Sheela untuk memulai sebuah commune, bagaimana reaksi masyarakat di sekitarnya, masalah dan eskalasi masalah, dan bagaimana kesudahannya. Periode yang disorot adalah dari tahun Osho dan Sheela memulai commune, sampai meninggalnya Osho, dan bagaimana keadaannya ajaran Osho sekarang.
Setelah Ma Anand Sheela ditunjuk oleh Osho, maka ia langsung bilang bahwa ia bisa menemukan lahan yang pas untuk dijadikan commune di Amerika Serikat. Sebagai seorang yang pernah sekolah dan mempunyai izin tinggal disana, dan mempunyai personality yang sangat hard-charging, Ma Anand Sheela berhasil mewujudkan pembangunan commune tersebut dengan sangat baik. Ia menemukan sebuah lahan di sebelah Antelope, Oregon, ia membangun gedung-gedung, membuat sistem bekerja, membuat sistem ekonomi, dan menjalankan peraturan-peraturan sesuai dengan arahan Osho.
Namun, satu hal yang tidak bisa diantisipasi adalah bagaimana reaksi para tetangga. Ternyata, Antelope yang mempunyai penduduk mayoritas fanatik beragama Kristen dan konservatif, nggak bisa terima bahwa ada Rajneeshpuram di sebelah mereka, sebuah commune yang sangat “liberalis”. Tidak bisa menerima bahwa ternyata mereka bersebelahan dengan orang yang membebaskan seks dan pola berhubungan, tidak bisa menerima bahwa mereka bertetangga dengan kelompok yang semua cara hidupnya sangat berbeda dengan cara hidup mereka. Dan mereka pun tidak mengenal Osho sehingga sangat curiga dengan siapa Osho ini dan apa yang diajarkan. Di saat yang bersamaan, beredar sebuah film yang mengungkapkan tentang seperti apa kehidupan di ashram Osho di India. Film tersebut dibuat oleh sutradaranya dengan cara menyelinap diam-diam di ashram, dan karena di awal berdirinya ashram tersebut “anything goes” dan sangat bebas, maka yang ada masyarakat konservatif disana jadi “kaget” dengan cara hidup yang ada di potret film tersebut. Dari situlah akhirnya commune ini mendapat julukan “sex cult”. Penolakan demi penolakan terus dilancarkan penduduk setempat, dan puncaknya ketika hotel yang dimiliki oleh Osho dibom oleh orang tak dikenal.
Karena pengeboman ini, akhirnya Ma Anand Sheela mulai menjadi agresif. Di film ini ditampakkan bahwa setiap wawancara, setiap kesempatan bicara di depan umum, Sheela selalu menonjolkan sisi agresifnya. Ia sangat hard-charging, defensive, atau malah melancarkan serangan balik kepada tetangganya, seperti misalnya membeli banyak-banyak senjata api, melatih penduduk commune untuk menembak, dan meracuni penduduk sekitar agar banyak yang sakit agar perwakilan commune bisa menang di pemilihan kepala daerah. Seringkali, ia terdengar arogan dengan mengatakan bahwa tetangganya adalah “stupid” dan “bigoted” karena tidak bisa menerima perbedaan karena mereka orang asing. Tapi jangan salah, pihak tetangga pun kekeuh sekali mempersulit kehidupannya dan kehidupan semua anggota commune Osho di Antelope, Oregon ini.
Bertahun-tahun Ma Anand Sheela berusaha mempertahankan commune ini, namun akhirnya ada hal yang membuatnya menyerah. Apa tuh? Dan bagaimana reaksi Osho? Apakah communenya bisa bertahan dan apa yang terjadi sekarang dengan konsep ajaran Osho? Well…bagian itu nggak bisa aku bocorin disini, karena yang pasti jauh lebih seru kalau kamu nonton sendiri di Netflix yekannn 🙂
VERDICT TIME!
Nggak salah memang kalau banyak yang bilang bahwa dokumenter ini “engrossing”. Engrossing banget, karena cara si sutradara memotret karakter masing-masing orang yang terlibat di dalamnya dan mengatur alur film ini dalam tiap episodenya, sangat membuat kita semakin fascinated and curious. Wait, what, she actually said that? Wait, what, how can he thinks like that? Wait, what, he actually does that? Wait, what, that was what was going on in his mind?! Wait, what, how did it get this way?!
Dengan perpaduan kliping artikel dan footage pemberitaan, hasil wawancara yang sangat dalam baik dengan orang-orang yang menyesal terlibat dengan Osho ataupun orang-orang yang masih sangat mendukung Osho sampai dengan perwakilan dari polisi dan penduduk Antelope, plus foto-foto dan footage pemberitaan, Wild Wild Country berhasil membuat kita mengerti besarnya konflik yang terjadi pada episode pembentukan commune itu di Oregon.
Banyak yang menyayangkan kenapa film ini sangat berfokus pada Ma Anand Sheela, cuma menurut aku pemusatan cerita kepada karakter Ma Anand Sheela merupakan narrative device yang pas banget, karena memang dia adalah tokoh sentral yang membentuk cerita dari episode khusus ini. Plus, it helps that she is a really strong, interesting, and fascinating character! She is more drama than the heroine of a drama show. Walaupun begitu, ada rasa penasaran yang menyisa ketika selesai nonton film ini. Yaitu, how much of it was really Ma Anand Sheela and how much of it was affected by Osho’s thoughts and ambition? Sadly, we will never know it because that episode is so much closed and done 🙁
Wild Wild Country kurang pas kalau kamu ingin mencari tahu lebih dalam tentang apa sebenarnya yang diajarkan oleh Osho. Dan juga kurang pas jika kamu ingin mencari tahu lebih dalam tentang bagaimana sebenarnya kehidupan di dalam commune. Hanya sekilas saja yang dijelaskan oleh pembuat filmnya, dan itupun ada dua sisi yang ditampakkan. Satu sisi kelihatan nggak harmonis seperti yang digaungkan, dan disisi lain sepertinya semua orang sangat happy dan joyful disana. Jadi sebenarnya nggak banyak kesimpulan yang bisa didapatkan dari menonton film ini jika kesimpulan tentang commune Osho itu sendiri yang kamu inginkan.
Namun, film ini merupakan studi yang begitu dalam tentang bagaimana dua paham yang berbeda menjadi konflik yang berkepanjangan, bagaimana pola interaksi yang akan merusak hubungan bertetangga, dan bagaimana sebuah ideologi sebaiknya diterapkan.
Dari pertama, Ma Anand Sheela sudah datang dengan pola komunikasi yang arogan dan sangat defensif, sehingga kelihatan sekali memandang sebelah mata tetangganya. Tentu saja, tetangganya tambah “panas”. Hmm, I mean, Nabi Muhammad aja yang dari satu komunitas, terkenal terpercaya dan mengenalkan dengan adab yang baik, masih mendapat perlawanan sedemikian rupa yang sangat keras ketika mengenalkan paham baru. Apalagi kalau kita mengenalkan suatu paham baru dengan komunikasi yang agresif – ya jadilah konflik berkepanjangan seperti yang digambarkan di Wild Wild Country. Mungkin ceritanya bisa berbeda jika Ma Anand Sheela bisa dengan legowo menjelaskan dengan baik, mengajak mereka mengalami sendiri, mengatur jadwal agar Osho bisa berbicara langsung, dan menciptakan public relations campaign yang manis, but then again, she is really not that kind of person.
Ma Anand Sheela yang merupakan kepala organisasi yang mengajarkan “dynamic meditations” sebagai metode membentuk “manusia yang baru” justru malah dengan terang-terangan menyatakan bahwa “I’m not a meditator, I just work all the time. And I don’t need and want meditators for this commune. For this commune to work, we need real workers, not meditators.” Dari pernyataannya, kelihatan sekali bahwa meditasi bukan sesuatu yang dianggapnya integral dan valuable dalam pekerjaannya. Bahkan, dalam artikel yang terpisah tentang Ma Anand Sheela yang aku dapat dari hasil ngoprek-ngoprek online, ternyata ketika Osho sudah menyuruhnya untuk meditasi setiap malam bersama Osho agar bisa mengatasi stressnya, ia menolak. Well, I mean, how can you be successful in promoting something that you yourself do not actually see it as necessary in your life? If you want to sell an ideology, better buy it first for yourself.
Overall, film ini keren banget dan timely banget. Di tengah banyak munculnya “pemikiran” yang baru saat ini, it helps that we reflect carefully on how those new thoughts are communicated and its perception managed, so that it doesn’t create conflicts which can hurt other people. Sejarah adalah guru yang baik, tapi kita juga mesti inget untuk mendengarkan pesan-pesan sejarah 🙂 Regardless of its shortcomings in angles selection, depths, or objectivity, I think Wild Wild Country is a really good ride to the past that can teach its viewers many relevant things for this modern time.