Alberthiene Endah (AE) sukses membuat biografi di Indonesia menjadi suatu karya tulis yang populer dan mudah dinikmati oleh banyak orang berkat karya biografi pertamanya tentang Krisdayanti. Semenjak dirilisnya buku tersebut, AE memutuskan berhenti menjadi jurnalis majalah, dan mulai mendapatkan tawaran non-stop untuk menulis berbagai karya biografi. Yuk simak pelajaran yang bisa diambil dari kesuksesannya.
- Mempunyai pengalaman menulis yang kuat
Sebelum pernah terbersit sedikitpun keinginan menulis biografi, AE sudah menjalani profesi sebagai jurnalis. Sebagai jurnalis, ia pernah berkarya untuk berbagai majalah, termasuk bekerja di majalah Femina selama sekitar 10 tahun. Pengalaman sebagai jurnalis memberinya kemampuan untuk menulis tentang apa saja.
“Saya merasa beruntung pernah bekerja di Femina karena di sana saya bisa menulis tentang apa saja. Saya bisa nulis soal pemain sinetron, presiden, bahkan tentang seorang aktivis kerusuhan Mei 98. Femina mengajarkan saya bagaimana menelusuri isi hati seseorang, bagaimana menyerap perasaan seseorang, dan bagaimana kita memahami kepedihan orang lain. Ditambah lagi, di zaman itu saya juga lagi susah-susahnya. Itulah modal membuat biografi. Bukan sekadar punya kemampuan menulis profil seseorang,” ungkapnya dalam acara Femina Writers’ Club yang ditulis disini.
Apapun yang ingin kita lakukan, sebelum menjadi besar biasanya diperlukan menjalani latihan dan proses bertahun-tahun. Mungkin yang dilihat oleh orang adalah suksesnya AE setelah menelurkan buku biografi pertamanya dan menilainya sebagai “overnight success”.
Tetapi kesuksesan itu sebenarnya sudah dirintis AE bertahun-tahun lamanya, dengan komitmennya dan semangatnya menjalani pekerjaan menulis bertahun-tahun di berbagai majalah, mengasah kemampuannya dalam mengelola kisah dalam kata-kata yang bisa dinikmati.
Bahkan jauh sebelum ia menjalani karir sebagai jurnalis, seorang AE kecil sudah terbiasa dengan membaca 5 buku dalam sehari, kebiasaan yang akhirnya menuntunnya untuk memilih karir sebagai jurnalis.
- Punya kepekaan hati
Seperti yang dikatakan di poin sebelumnya, ia merasa bahwa salah satu sisi paling penting dalam menulis biografi adalah kemampuan menelusuri isi hati seseorang, menyerap perasaan seseorang, dan bagaimana memahami kepedihan orang lain. Kepekaan hati diakui AE menjadi salah satu kunci yang harus dimiliki dalam menulis biografi, karena tanpa kepekaan hati, biografi akan cenderung kering dan hanya menjadi urutan kronologis hidup.
Selain itu, salah
satu kunci sukses dalam penulisan biografinya adalah kemampuannya untuk
menggali cerita dari narasumber, yang tentu saja membutuhkan kepekaan hati. Menulis
biografi bisa bersifat sebagai healing therapy bagi sang narasumber, dan
penulis yang mewawancarainya harus mampu menyerap energi dari narasumbernya.
“Membuat biografi menuntut kesabaran saat wawancara. Harus punya napas panjang karena dilakukan puluhan hingga ratusan kali kepada satu orang yang sama. Di dalamnya ada perjuangan mengenali batin dan mood yang berubah-ubah. Jadi menulis biografi itu mirip psikiater,” ujarnya seperti dikutip oleh Tempo.co.id
- Punya visi dan standard tentang karyanya
AE mempunyai visi dan standard tersendiri tentang karyanya. Ia mengamati bahwa narasumbernya sendiri banyak yang tidak mengerti apa itu biografi. Saat menulis biografi, ia harus mempunyai visi dan standard bahwa biografi tersebut harus bisa mengungkap sisi-sisi “seru” dalam hidup narasumbernya, bukan hanya yang bagus-bagus saja. Justru yang membuat biografi tersebut hidup adalah tentang isi narasi kisah seseorang yang menunjukkan bagaimana proses mereka berkembang “from nothing to something” atau dari rusak menjadi benar. Ia harus tahu apa saja yang harus dibahas dalam buku tersebut, dan angle/narasi apa yang akan dipersembahkan kepada pembaca. Membuat sistem yang runut untuk penulisan karyanya inilah yang membuat AE mampu memberikan yang terbaik untuk kliennya dan dengan begitu, mempunyai kemampuan untuk bernegosiasi untuk tidak dibayar murah dalam penulisannya.
“(Menulis biografi seperti) membuat satu pola skenario yang runtut. Ketika
mau membuat biografi, film itu sudah ada di kepala kita, bukan di kepala dia.
Karena nyaris tak ada satu pun orang yang akan kita tulis biografinya mengerti
apa itu biografi.
Saat bikin (buku) Probosutedjo, di kepala gue sudah muncul harus ada cerita bahwa dia anak tiri atau bukan, bagaimana ketika Pak Harto jadi jenderal, bagaimana saat kejadian PKI, ketika sudah kaya berubahkah sikapnya. Skenario itu sudah ada di kepala kita. Dia yang harus kita giring ke cerita itu. Yang salah persepsi dari menulis biografi itu adalah dengan mewawancarai sebanyak-banyaknya dan “memasak” dengan pusing setelahnya. Kalau saya, membuat satu buku yang menyederhanakan dan mendefinisikan biografi itu dengan spesifik dan tajam. Ini akan menghasilkan biografi efektif,” ujarnya dalam wawancara dengan Tempo.co.id.
- Terlatih untuk mengembangkan narasi & punya ‘jiwa pengejar pesan’
Selain kemampuan menulis yang kuat dan kepekaan jiwa, AE juga mengatakan salah satu hal yang diperlukan oleh seorang penulis biografi adalah jiwa pengejar pesan. “Misalnya, ada yang cerita bahwa suaminya punya istri 4 dan dia adalah istri yang keempat. Di rumah tangganya, dia mengalami siksaan. Mungkin kalau orang lain yang dengar cerita itu responnya bakal biasa aja. Seperti dengar cerita seru pada umumnya. Tapi, kalau saya yang dengar cerita itu, radar saya langsung jalan. Dari cerita itu, pasti banyak pesan yang bisa ditangkap, banyak tema yang bisa digali,” ujarnya dalam sebuah forum Femina’s Writers’ Club.
Ia menekankan, pengerjaan biografi bukan hanya pengumpulan data dan CV yang dipanjang-panjangkan. Melainkan, bagaimana caranya ia bisa mengumpulkan hal-hal yang menarik dari sebuah cerita, dan memasaknya untuk bisa dinikmati oleh pembaca.
“Ketika kita nulis tentang
apa saja dari narasumber, di situlah awal kecelakaan muncul. Karena kita tidak
lagi memasak pikiran pembaca. Pembaca itu harus kita olah, yang nikmatnya itu
di mana saja,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Tempo.co.id.
- Totalitas, dedikasi & disiplin
AE adalah penulis yang selalu menerapkan prinsip totalitas, dedikasi dan disiplin dalam karya-karyanya. Misalnya saja, novel pertamanya, Jangan Beri Aku Narkoba, yang diilhami dari sebuah kisah nyata. Dalam menulis novel tersebut, ia sempat riset dua minggu di sebuah pusat rehabilitasi narkoba di Bogor, kemudian mewawancara para pecandu narkoba dan dokternya. Novelnya tersebut akhirnya mendapatkan penghargaan, difilmkan, dan filmnya juga mendapat penghargaan. Nggak heran kalau biografi yang ditulisnya pun mempunyai jaminan kualitas.
Dalam menulis biografi, AE biasanya memerlukan waktu empat bulan, dengan jadwal wawancara yang intensif, misalnya dua hari sekali ketemu. Ia bisa menghabiskan 40 kaset untuk rekaman wawancara. Masing-masing kaset terdiri dari 2-3 jam wawancara. Total, ia bisa menghabiskan 80 – 120 jam mewawancarai narasumbernya. Ia juga mempunyai beberapa anak buah, yang bertugas mentranskrip hasil wawancara, riset artikel dari database media, melakukan telaah mendalam untuk hal-hal seperti sejarah politik, dan verifikasi data.
Ia juga pernah
menulis 10 buku biografi secara terus menerus dalam setahun di tahun 2010,
termasuk Jenny Rachman,
Chrisye (The Last Words of Chrisye), Probosutedjo, Ani Yudhoyono, buku Teh
Sariwangi (Mari Bicara), Anang dan Ramli. Menurutnya, ia bisa mudah “switch”
antara pekerjaan, sehingga bisa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu yang
sama. Namun selain itu, ia juga bersusah payah membuat sistem menulis biografi
sehingga bisa cepat melakukannya dan bisa melakukan lebih dari satu buku dalam
satu bulan.
- Selalu Haus Upgrade Diri
“Sudah punya karya, jangan sombong! Belajarlah dari kritik dan berbesar hati menerima kritik untuk kemajuan karya. Selain tekad dan disiplin yang kuat, seorang penulis juga harus punya kemauan untuk upgrade kemampuan diri,” paparnya dalam sebuah Writing Clinic untuk kelompok blogger. Ia juga tidak puas diri dengan apa yang sudah didapatnya, masih ingin mewujudkan impian menulis biografi salah satu aktris favoritnya, yaitu Christine Hakim, dan masih terus meningkatkan kualitas dirinya dengan belajar menulis dalam bahasa Inggris supaya bisa go international dengan karyanya. Attitude inilah yang selalu mendorongnya untuk memberikan yang lebih baik lagi dalam setiap karyanya sehingga orang-orang terus mengasosiasikan namanya dengan kualitas yang baik.
- Tidak pernah pelit berbagi ilmu dan kebaikan
AE kelihatannya adalah penganut prinsip bahwa ilmu yang dibagikan akan selalu bertambah. Ia tidak pernah pelit berbagi ilmu dan kebaikan, mulai dari mengisi berbagai forum coaching dan clinic penulisan, memberikan kata sambutan untuk buku-buku yang dirilis rekan wartawannya, sampai memendam keinginan untuk mendirikan sekolah menulis gratis. Tidak takut tersaingi, ia justru mendukung calon biografer untuk meramaikan dunia biografi Indonesia karena tahu bahwa dunia ini masih sangat membutuhkan pemain baru.
Nah, bagaimana readers, ada yang tertarik menjadi penerus Alberthiene Endah? Semoga tujuh hal diatas bisa membantu kamu mewujudkan keinginan tersebut. Best wishes for your writing career!